Selasa, 17 Mei 2016

TEKNIK MENGHITUNG FREKUENSI ALEL



TEKNIK DALAM MENGHITUNG FREKUENSI ALEL
Teknik-teknik yang digunakan dalam genetika modern banyak menggunakan penanda genetik sebagai alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu individu atau sampel yang diambil. Penanda genetik disebut juga dengan penanda, marker, marka, atau markah. Penanda genetik merupakan ekspresi pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Penanda genetik dapat diketahui lokasinya pada kromosom. Penanda yang lokasinya dapat diketahui pada kromosom memberikan informasi bagi sekuensing dan perbandingan antar genotipe, meskipun seringkali tidak praktis dalam aplikasinya. Aplikasi penanda genetik misalnya dalam bidang-bidang kedokteran, pertanian, ilmu pangan, lingkungan, antropologi, sejarah, hukum. Bidang-bidang tersebut menggunakan aplikasi penanda genetik  sebagai alat analisis atau alat pembuktian. Beberapa penanda genetik sangat terpercaya karena bersifat lembam dan tidak mudah berubah karena pengaruh lingkungan (Semagn et al., 2006)
1. RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism).
Metode RFLP diestimasi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen DNA. Susunan nukleotida spesifik pada sekuens DNA dipotong dengan enzim retriksi endonuclease berdasarkan ukurannya. Selanjutnya hasil pemotongan enzim retriksi endonuclease tersebut dicampur dengan DNA probes dan dilakukan analisis southern bolt. Fragmen DNA yang komplementer dengan probes akan terhibridisasi dan muncul pada layer. Polimorphisme dideteksi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen yang muncul. Polimophisme yang dihasilkan dapat disebabkan karena adanya mutasi, insersi, delesi, dll.
            Dalam analisis RFLP, genomik DNA yang dipotong dengan enzim restriksi dipisahkan melalui gel elektroforesis, dan diblot ke membrane netroselulase. Dasar dari transfer DNA dari gel ke pensupport yang lebih solid adalah untuk mengawetkan posisi fragmen DNA dan menyebabkan hibridisasi dapat dilakukan. Pola banding yang spesifik divisualisasi dengan hibridisasi dengan probe yang dilabel. Probe biasanya probe lokus tunggal yang spesies-specific berukuran 0.5-3kb yang diperoleh dari cDNA library atau genomik library
Metode RFLP tidak menggunakan PCR dalam pengerjaannya. Kelebihan metode ini adalah konsistensi yang tinggi, informasi sifat pewarisan ko-dominan, dapat diulang tanpa ada perubahan, tidak memerlukan informasi sekuen, dan relatif mudah diidentifikasi karena perbedaan yang besar antar fragmen. Akan tetapi metode ini juga mempunyai beberapa kekurangan yaitu pada beberapa spesies tingkat polimorfisme sangat rendah, menyita banyak tenaga dan waktu, kuantitas dan kualitas DNA yang diperlukan sangat tinggi, prosedur hibridisasinya rumit sehingga menyulitkan otomatisasi, dan memerlukan pustaka probe untuk spesies-spesies tanaman yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya.
Metode RFLP mempunyai banyak kegunaan dalam bidang pemuliaan tanaman modern. Aplikasi metode RFLP antara lain digunakan untuk seleksi karakter agronomi, uji kualitas benih, analisis segregasi pada keturunan, dan evaluasi diversitas genetik untuk koleksi plasma nutfah. RFLP juga digunakan sebagai alat untuk mengetahui variabilitas genetik pada tanaman pangan.

2. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).
Metode RAPD merupakan metode yang menggunakan oglionukleotida tunggal pendek (primer), sepanjang 10-12 basa, untuk membentuk fragmen-fragmen DNA. Metode RAPD memanfaatkan PCR untuk mengamplifikasi sekuen DNA yang komplementer terhadap primer. Sekuen DNA yang komplementer dengan primer akan terhibridisasi secara acak (random), selanjutnya dilakukan perbanyakan (amplified) terhadap sekuen-sekuen DNA komplementer tersebut. Tahap selanjutnya yaitu melakukan elektroforesis pada agarose atau polyacrilamide gel untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukurannya. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan ethidium bromide dan fragmen-fragmen DNA akan terlihat jika disinari dengan sinar UV.
Metode RAPD dapat menghasilkan beragam pita pada individu dengan primer tunggal. Variasi band yang terlihat umumnya disebut random amplified polymorphic DNA (RAPD) bands. Polimorphisme akan terlihat dan selanjutnya bisa digunakan sebagai marka genetik. Pemanfaatan metode RAPD antara lain untuk deteksi polimophisme sekuens DNA, pemetaan genetik berbagai populasi, keragaman genetik, dan identifikasi varietas serta analisis asal-usul organisme (filogenetik).
Metode RAPD mempunyai keunggulan dan juga kekurangan. Keunggulan metode RAPD yaitu waktu yang dibutuhkan singkat, mudah dilaksanakan, lebih murah, dan primer yang diperlukan sudah banyak dikomersilkan sehingga mudah diperoleh. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis banyak organisme, karena primer yang digunakan bersifat universal yang berarti primer dapat digunakan tanpa perlu mengetahui informasi sekuen DNA terlebih dahulu.
Kekurangan metode RAPD yaitu marka (primer) yang terlalu umum, sehingga informasi yang diperoleh kurang akurat. Marka RAPD bersifat dominan, dalam arti lain band hasil RAPD tidak menunjukkan perbedaan antara keadaan heterosigos dan homosigos. Selain itu terdapat kesulitan untuk memperoleh pola pita yang identik walaupun digunakan primer dan materi (DNA) yang sama. Masalah lain yang ditemukan adalah pola pita RAPD muncul pada DNA keturunan tetapi tidak muncul pada DNA tetua, dimana fenomena ini biasa disebut heteroduplex formation. Hal ini mungkin disebabkan karena reaksi RAPD dipengaruhi oleh persaingan antar primer sites dalam genom.

3. AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism)
Metode AFLP merupakan penggabungan antara teknik RFLP dan RAPD. DNA genomik dipotong dengan ezim restriksi seperti pada RFLP, akan tetapi pada AFLP digunakan dua enzim restriksi yang berbeda. Tujuannya adalah memperoleh fragmen dalam jumlah besar. Beberapa fragmen terseleksi diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer universal seperti pada RAPD, walaupun sebenarnya primer yang digunakan tidak benar-benar dipilih secara acak. Primer yang digunakan adalah primer yang komplementer dengan “adapters”. Adapters merupakan oligonukleotida spesifik yang komplementer dengan restriction sites sepanjang 25-30bp dan menempel pada fragmen DNA yang dipotong. Polimorphisme kemudian dideteksi dari perbedaan panjang fragmen hasil amplifikasi PCR pada polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE) atau capillary electrophoresis yang divisualisasi dengan menggunakan otoradiografi atau pewarnaan perak. Pita polimorphik lalu diidentifikasi seperti pada analisis RAPD. Pita polimorphik ini bahkan bisa dipotong dari gel dan disekuensi, yang memungkinkan kita untuk merakit primer PCR spesifik.
Metode AFLP biasanya digunakan untuk meneliti variasi genetik diantara individu dalam suatu spesies, mengevaluasi variasi genetik untuk koleksi plasma nutfah dan skrining biodiversitas. Metode AFLP juga sering digunakan untuk membuat peta genetik dan percobaan untuk menemukan gen-gen yang bertanggung jawab terhadap karakter tertentu. Kelebihan metode ini yaitu tidak memerlukan informasi sekuen dari genom, hasil amplifikasinya stabil, tingkat pengulangan dan variabilitasnya sangat tinggi, dan dapat mendeteksi variasi genetik diantara spesies, varietas, atau kultivar yang berkerabat dekat. Kekurangan metode ini yaitu pengerjaan yang rumit dan intensif dibandingkan metode lainnya, pengadaan alat dan bahan sangat mahal, serta dibutuhkannya kits yang berbeda-beda yang dapat beradaptasi dengan ukuran genom selama analisis.

4. SSR (Simple Sequence Repeat)
Metode Simple Sequence Repeat (SSR) mempunyai nama lain metode microsatellite atau Simple Tandem Repeat (STR). Metode SSR didasarkan atas pengulangan pasangan sekuen mono-, di-, tri-, tetra-, penta-, dan hexa-nukleotida seperti (TG)n atau (AAT)n. Pasangan sekuen ini tersebar melewati genom sehingga menghasilkan polimorphisme yang tinggi. Dalam pengerjaannya, metode SSR memanfaatkan PCR untuk mengamplifikasi sekuen DNA secara individu menggunakan primer spesifik. Sekuen DNA yang teramplifikasi adalah sekuen DNA yang komplementer dengan primer yang digunakan. Selanjutnya dilakukan elektroforesis pada agarose gel atau polyacrilamide gel untuk memisahkan fragmen DNA yang terbentuk berdasarkan panjang ukuran basa. Kemudian dilakukan pewarnaan pada gel dengan ethidium bromide. Tahap terakhir yaitu visualisasi dengan meletakkan gel dibawah sinar UV sehingga fragmen-fragmen DNA akan terlihat. Polimorphisme dideteksi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen DNA akibat perbedaan panjang pengulangan pasangan sekuen
Mikrosatelit atau SSR dapat dideteksi dengan pewarnaan menggunakan teknik  Silver Staining PAGE (pewarnaan perak dengan teknik  Polyacrilamyde Gel Electrophoresis). Proses deteksi  SSR juga dapat diotomatisasi dengan menggunakan  fluorescently-labeled markers dan alat analisis genetik  (genetic analyzer). Kelebihan utama dari teknik ini adalah pembacaan fragmen  DNA lebih akurat  (ketelitian sampai 1 bp), lebih otomatis, dan  hightroughput (marka yang berbeda ukuran fragmen DNA dan warna labelnya dapat diproses bersamaan  dalam sekali pendeteksian (running) (Santoso, dkk; 2006).
Perbedaan  metode SSR dengan metode RAPD terletak pada primer yang digunakan. Primer SSR merupakan primer tunggal spesifik yang mengamplifikasi hanya pada satu site tertentu, berbeda dengan RAPD yang menggunakan primer universal, yang dapat mengamplifikasi pada beberapa site sekaligus. Primer SSR juga merupakan marka ko-dominan yang dapat membedakan heterosigos dan homosigos sedangkan primer RAPD merupakan marka dominan. Perbedaan lainnya terletak pada pita yang dihasilkan. Metode SSR biasanya hanya menghasilkan satu atau dua pita pada tiap individu sedangkan metode RAPD dapat menghasilkan beragam pita pada tiap individu.
Metode SSR merupakan salah satu alat molekular yang sering digunakan untuk penelitian diversitas genetik karena keakuratan informasi yang tinggi dan sangat polimorfik bahkan untuk spesies atau galur yang berkerabat dekat. Genetik populasi dan analisis hubungan kekerabatan bisa dilakukan dengan metode SSR.
Kelebihan metode ini yaitu primer yang digunakan untuk satu spesies tertentu dapat digunakan untuk berbagai macam tanaman dalam satu spesies, kuantitas DNA yang digunakan sangat kecil, metodenya relatif sederhana dan dapat dilakukan secara otomatis, dan pasangan primer SSR tersedia dipasaran dalam jumlah yang besar. Sedangkan kekurangan metode ini yaitu kesulitan kloning dan sequencing daerah flanking SSR, biaya yang cukup tinggi untuk merancang primer baru yang spesifik.

5. SNP (Single Nucleotide Polymorphism)
    SNP umumnya merupakan variasi DNA yang berasal dari perubahan satu atau dua basa pada sekuen DNA . SNP juga diartikan sebagai variasi sekuen DNA yang terjadi ketika sebuah nukleotida tunggal dari sekuen tersebut berbeda dari sekuen DNA pada umumnya. Jika SNP terjadi pada sebuah gen, SNP dapat mengganggu fungsi gen, yang menghasilkan perbedaan alel pada gen tersebut. SNP dapat digunakan secara efektif sebagai penanda karena perbedaan terjadi pada basa tunggal. Tidak seperti metode SSR, SNP merupakan bagian sekuen itu sendiri bukan ukuran atau panjang sekuen. Pada genom manusia, SNP umumnya terjadi setiap 100 hingga 300bp.
Prinsip dasar dalam pengerjaan SNP beserta teknik yang digunakan meliputi:
-    ASOH (Allele-spesific oligonukleotide hybridization), teknik terkait: allele-specific PCR, 5’ nuclease assay, DNA chips, bead based techniques.
-    Elongasi rantai DNA template-dependent dengan DNA polimerase, teknik terkait: primer extension, pyrosequencing.
-    Double-strand-dependent ligation, teknik terkait: OLA (oligonucleotide ligation assay) yang digabungkan dengan DNA chips atau bead based techniques.
-    Deteksi perbedaan (mismatch detection), teknik terkait: DASH (dynamic allele-specific hybridization), DHLPC (denaturing high-performance liquid chromatography).
Deteksi markah SNP bersifat ko-dominan, berdasarkan pada amplifikasi primer yang berbasis pada informasi sekuen untuk gen spesifik. Keunggulan teknik SNP adalah lebih mudah diaplikasikan dibandingkan dengan teknik SSR dan AFLP serta lebih bermanfaat ketika posisi SNP pada lokus sangat berdekatan. Kelemahan dari teknik SNP adalah memerlukan informasi sekuen untuk suatu gen yang menjadi target analisis dan untuk pengadaan alat dan bahan memerlukan biaya yang sangat tinggi.





DAFTAR PUSTAKA

Bashalkhanov S., Pandey M., Rajora OP. 2009. A simple method for estimating genetic diversity in large     populations from finite sample sizes. BMC genetics.

Fahmi, Zaki Ismail. 2011. Pemanfaatan teknologi DNA molekuler dalam identifikasi dan verifikasi varietas tanaman perkebunan. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan.

Suryanto, D. 2003. Melihat keanekaragaman organisme melalui beberapa teknik genetika molekuler. USU digital library : Universitas Sumatera Utara.


Andalas (Tanaman maskot Sumbar yang mulai dilupakan)

Andalas ( Morus macroura Miq.)
Andalas adalah tanaman khas Sumatera barat dan merupakan tanaman maskot Sumatera Barat. Salah Satu Universitas Tertua di Sumatera menggunakan nama Andalas yaitu Universitas Andalas. Bahkan beberapa nama daerah di Sumatera Barat ada yang disebut Andalas atau Andaleh  Namun sangat disayangkan karena saat ini banyak masyarakat MInang terutama mahasiswa yang tidak mengetahui bahwa pohon ini termasuk tanaman khas dan maskot daerah mereka. Lebih disayangkan lagi karena mereka tidak mengetahui bentuk dan ciri-ciri tanaman Andalas. Sehingga keberadaan tanaman Andalas di Sumatera barat sudah sangat sulit ditemukan bahkan didaerah Asalnya.

Tanaman Andalas juga memiliki potensi yang baik sebagai tanaman obat-obatan, karena mengandung senyawa kimia yang dapat mengobati berbagai penyakit. Menurut Hakim (2002) tumbuhan ini mengandung bahan kimia yang dapat  menghambat pertumbuhan pembiakan virus HIV.  Hakim et al (2008) melaporkan bahwa terdapat senyawa-senyawa oksiresveratrol, andalasin A dan andalasin B yang diisolasi sebagai komponen utama tumbuhan Andalas (M. Macroura). Senyawa ini merupakan senyawa-senyawa yang sangat potensial sebagai bahan antioksidan atau inhibitor tirosinase dan bisa digunakan sebagai bahan kosmetika untuk perlindungan dan pemutihan kulit atau anti browning.
  Saat ini populasi Andalas mulai sulit ditemukan, karena penebangan dan pemanfaatan pohon Andalas yang relatif tinggi oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak diimbangi dengan penanaman ataupun pemeliharaan kembali (Djam,an dan Muharam, 2008). Hasil penelitian Mahdane (2013) di Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar, hanya ditemukan sebanyak  266 individu tanaman Andalas yang tersebar di 6 Jorong. Hal ini disebabkan karena pohon Andalas sulit berkembang biak secara alami atau generatif, Dahlan (1993) menambahkan  pohon Andalas memiliki tipe bunga dioceus (berumah dua) yaitu antara bunga jantan dan bunga betina saling berjauhandan terdapat pada individu yang berbeda serta pembungaan yang tidak serentak sehingga akan sulit untuk melakukan perkawinan sendiri. 
Tanaman Andalas berupa pohon besar tingginya mencapai 35 m dengan diameter batang pohon dewasa mencapai 1m. Batangnya tegak dan lurus  sampai ketinggian 20 m dari permukaan tanah, batang tanaman ini tidak ditumbuhi oleh cabang-cabang. Ketebalan kulit batangnya mencapai 15 mm. Kulit batang ini berwarna kuning cokelat atau merah kuning. Daunnya merupakan daun tunggal dan berbulu pada  permukaan atasnya. Bulu-bulu ini menyebabkan rasa gatal bila disentuh (Widyastuti,1993)
Pohon Andalas mempunyai daun berwarna hijau berbentuk oval dengan pinggiran daun bergerigi. Permukaan daun sebelah bawah umumnya licin sementara permukaan sebelah atas kasar apabila diusap dari ujung daun ke pangkal daun. Warna daun akan berubah menjadi hijau tua bahkan menjadi hijau pekat kehitaman menjelang musim kemarau. Hampir sama dengan beberapa tumbuhan hutan lain  seperti jati dan surian, Andalas juga menggugurkan daunnya setahun sekali. Pada pohon Andalas, fase pengguguran daun merupakan periode peralihan dari periode vegetatif ke periode generatif. Setelah fase ini berlalu, umumnya sekitar satu bulan, maka akan muncul tunas-tunas baru diiringi dengan munculnya kuncup bunga (Mahdane, 2013).

 Pohon Andalas berbunga setiap tahun yaitu sekitar bulan September sampai Oktober. Bunga tersususn membentuk malai, terletak di ketiak daun, kelopak bunga halus, bercangap,hijau kekuningan; mahkota berbulu, warna putih kekuningan, benang sari empat, kepala sari dan putik satu, putih kekuningan. Berdasarkan sifat bunganya jenis ini dikelompokkan sebagai tumbuhan berumah dua (Dioceus) yaitu dalam satu pohon hanya terdapat satu jenis kelamin, jantan atau betina saja dan kadang-kadang jarak antara pohon jantan dan betina berjauhan sehingga tidak terjadi penyerbukan, walaupun demikian buah yang dihasilkan sangat banyak. Bunga jantan berbulu halus sedangkan bunga betina tidak berbulu sama sekali. Buahnya disukai oleh burung serta jenis vertebrata. Jadi jenis ini secara individu dalam satu tahun dapat berbuah 2 kali dan panen buah yang terbanyak biasanya didapatkan pada bulan Juli hingga Desember (Djam,an dan Muharam, 2008).